Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-cita

Gambar diambil dari Google

Gambar diambil dari Google

Suatu Hari di Sungai Batang Kawa Tahun 1975-an

Sebuah klotok yang mengangkut hasil hutan non kayu semisal karet dan rotan bertolak dari pelabuhan di sebuah desa.  Stok barang telah cukup memenuhi klotok1 dan air sungai sedang pasang.   Inilah waktu terbaik mengangkut barang dari pedalaman Kalimantan yang dikenal sebagai pulau seribu sungai.  Jalan darat?  Ah, masa itu belantara masih jaya dan alat transportasi darat yang dimiliki warga masihlah sepeda.  Itupun hanya dimiliki orang-orang kaya.  Sehingga sungailah, satu-satunya jalur transportasi murah dan populer!

Pemiliknya, seorang

mantir adat2 yang disegani masyarakat.  Ditemani beberapa orang keluarga yang menjadi anak buah di klotoknya, berton-ton karet dan rotan, atau buah-buahan jika sedang musim itu pun berpindah tangan.  Begitu kembali, beliau membeli segala macam keperluan warga desa.  Garam, gula, kopi, teh, pakaian dan lain-lain.

Beliau terus memantau laju perahu dan rutenya.  Maklumlah, ada banyak riam dengan batu-batu besar menunggu.  Salah-salah langkah, perjalanan mereka bisa berakhir petaka.  Riam pertama dilewati, itu artinya desa mereka telah dilalui.  Beliau pun mulai mengambil sirih dan pinang, meramunya dengan gambir dan kapur lalu mengunyahnya.

“Nah, anak-anak…ayo minggir.  Aku mau mengeluarkan pekasam3 dulu…”, beliau mengumumkan!

Musim hilir kali ini bertepatan dengan tahun ajaran baru.  Anak-anak desa yang ingin melanjutkan sekolah harus merantau ke kota.  Orangtua kebanyakan mempercayakan mereka pada beliau untuk dititipkan pada sanak-keluarga yang berdomisili di kota.  Atau mungkin berjuang menjadi pesuruh di rumah-rumah kaya yang memerlukan tenaga mereka.

Tujuh kepala kanak-kanak yang baru lulus sekolah dasar itu pun berkomat-kamit.  Mereka berlomba membereskan barang-barang mereka di lambung klotok lalu menyingkir ke pinggir.  Dan setelah area itu bebas barang dan orang, Sang Mantir mulai membuka satu per satu papan penutupnya.  Dan jeng jeng…satu kepala muncul disana!

“Hah???”, semua yang memandang terperanjat kaget.

“Nah, inilah pekasamku…”, ujar Sang Mantir sambil terkekeh dan membantu anak perempuan berambut panjang itu keluar.

Dan bisa ditebak bagaimana hebohnya reaksi anak-anak lain!  Gadis cilik itu seusia mereka.  Sepupu dekat yang harusnya menikah dengan sepupu mereka lainnya dalam hitungan beberapa bulan lagi.  Ia baru lulus sekolah dasar dan bercita-cita menjadi perawat.  Kuatnya tekad melanjutkan pendidikan membuatnya nekad kabur dan meminta bantuan Paman dari jalur ibunya, Sang Mantir.

Jalur pelarian yang direncanakan bersama paman, barang yang hanya sekedarnya dibawa dari rumah dan disembunyikan di bawah lantai klotok menjadi kisah paling ajaib yang kami dengar.  Setelah seminggu, mereka pun sampai di kota.  Anak-anak yang dititipkan, termasuk gadis cilik pelarian itu tinggal sementara di rumah keluarga.  Beberapa bulan kemudian mereka berpencar ke rumah-rumah penampungan lainnya.

Sungguh kisah ini ditulis bukan dengan niatan menyaingi novel Andrea Hirata yang melegenda itu!  Ia hanya sepenggal cerita yang dikisahkan oleh sanak keluargaku ketika berkumpul.  Saat arisan keluarga atau momen-momen lainnya yang menyatukan para saksi yang melihat Sang Mantir mengeluarkan pekasamnya hari itu!  Meski dalam perjalanannya gadis pelarian itu terpaksa hanya menjalani pendidikan bagi guru sekolah dasar, bukan keperawatan sebagaimana cita-cita awalnya akibat keterbatasan dana, namun ia bangga dengan perjuangannya.

“Makanya kalian harus menyelesaikan sekolah dengan baik!”, begitu pesan para saksi itu.

“Harus bersyukur pada Tuhan dan menggunakan kesempatan ini karena fasilitas yang kalian dapat jauh lebih baik dari kami dulu.  Kalian berangkat naik motor ke sekolah, memakai baju, tas dan buku yang bagus, juga ada les privat”, tambah yang lainnya.  Kami, para anak hanya mengangguk-ngangguk (sok) patuh.  Dan petuah hidup lain pun berlanjut!

***

Suatu Hari di Kolam Tahun 1965-an

“Buat apa sekolah?  Harta kita sudah banyak…”, ujar salah satu tetua keluarga.

Anak laki-laki tampan berkulit cokelat itu dengan lantang menjawab, “Biar pintar!”, dan riuh rendah tawa pun menggema.

“Pintar apa gunanya?  Presiden, Gubernur, Bupati dan Camat sudah ada semua…”, gurau lainnya.

“Kalau mereka sudah tua, biarlah aku yang menggantikannya!”, sahutnya mantap.

Apakah ini succes story dari tokoh terkenal?  Bukan!!!  Ini lagi-lagi hanya sepenggal kisah yang diulang dalam pertemuan keluarga.  Anak laki-laki itu tak menjadi Camat, Bupati, Gubernur apalagi Presiden!  Ia hanya menjadi seorang sarjana ekonomi yang mengabdikan diri buat negara.  Selalu datang tepat waktu, mengerjakan pekerjaannya penuh tanggung-jawab dan tanpa catatan korupsi meski penghasilannya tak seberapa.  Dan di atas semuanya, ia selalu bangga dengan perjuangannya!

***

Pendidikan, sebagaimana yang kita ketahui bersama masih menjadi sesuatu yang mewah di negeri kita, Indonesia.  Setiap hari kita masih disuguhi berita yang menampilkan carut-marut dunia pendidikan.  Mulai dari keterbatasan akses pendidikan, jumlah guru yang belum merata hingga masalah mutu pendidikan.  Aihhh, kalau dibicarakan satu per satu mungkin akan berbuih-buih mulut kita!

Keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah hal baru. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan menjadi barang mahal.  Keterbatasan itu kian mencolok di tengah naiknya minat masyarakat untuk mengenyam pendidikan.  Sayangnya, keterbatasan anggaran dan alasan klasik lainnya, membuat negara tidak bisa menyediakan akses pendidikan publik berkualitas secara merata. Jutaan anak didik harus rela membuang mimpi mengenyam pendidikan bermutu.

Tahun 2011 saja, ada 1,1 juta lulusan SMP/sederajat yang tidak tertampung di jenjang pendidikan SMA/SMK/MA.  Data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah lulusan SMP/sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa.   Sementara daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta.  Jadi bagaimana nasib 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi itu?

Demikian juga dengan Pendidikan Tinggi.  Dari total 540.953 peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011, sebanyak 118.233 dinyatakan lolos ujian.  Adapun sisanya yakni 422.720 siswa harus menempuh studi di PT Swasta, dengan konsekuensi membengkaknya pembiayaan.  Pada akhirnya, kalangan tak berduit pun terpaksa melupakan mimpi untuk studi.

Jika ditotal jumlah Siswa SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada ratusan ribu siswa yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi.  Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada yang jadi pengangguran, ada ada pula yang memutuskan bekerja.  Tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda-pemudi yang mestinya mengenyam bangku kuliah.

Laporan Program Pembangunan PBB tahun 2013 menyebutkan Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,629.  Dengan angka itu Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga ASEAN yaitu Malaysia (peringkat 64) dan Singapura (18), sedangkan IPM di kawasan Asia Pasifik adalah 0,683.  Jika pendidikan diibaratkan eskalator perubahan sosial, lalu apa yang bisa diharapkan pada generasi kita dalam kondisi ini?  Itu baru bicara akses pendidikan!  Belum tentang guru dan mutu pendidikan!

Padahal aneka seminar, workshop dan kegiatan lainnya kian marak digencarkan demi meningkatkan kualitas pendidikan.  Dikota-kota, bangunan megah didirikan dan dilengkapi fasilitas memadai untuk belajar-mengajar.  Imbasnya tentu pada mahalnya biaya pendidikan.  Pameo yang tertanam, semakin besar biaya pendidikan maka pelayanan pun semakin ditingkatkan.  Fiuh!!!

Menjamurnya sekolah/lembaga pendidikan memang menjadi pertanda begitu pedulinya masyarakat terhadap dunia pendidikan.  Namun masalahnya, kita mendapati bahwa masyarakat dan sistem yang ada menjadikan pendidikan ini bukan sebagai kebutuhan pokok yang terfasilitasi penuh oleh Negara. Pendidikan justru menjadi komoditas ekonomi yang dilemparkan ke pasar untuk diperjualbelikan.  Hanya masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas yang dapat mencicipi dan menikmati pendidikan berkualitas.  Dan peran negara akhirnya tereduksi oleh pihak swasta bahkan asing.  Ironisnya saat pendidikan mulai berorientasi materi maka kualitas SDM pun akan mengikuti permintaan pasar yaitu kualitas pekerja bukan pemimpin.

Untuk merombaknya, tentu diperlukan kurikulum pendidikan yang tepat sasaran.  Kurikulum yang tidak berorientasi pasar.  Aku sendiri selalu meyakini, hanya kurikulum pendidikan Islam-lah yang mampu mencetak generasi unggul, generasi pemimpin!  Wajarlah ya?  Kan Islam memposisikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara.  Sehingga kualitas SDM yang dihasilkan adalah generasi khairu ummah yang kelak mampu memimpin bangsanya menjadi bangsa yang besar, kuat dan terdepan memimpin bangsa lain.

 

Catatan kaki :

1Perahu klotok banyak dijumpai di Kalimantan. Merupakan alat transportasi utama terutama di Kalimantan Tengah, di mana transportasi sungai merupakan urat nadi bagi masyarakat.  Penyematan nama klotok sendiri, karena mesin perahu itu berbunyi tok tok tok. Sampai sekarang masyarakat masih menyebut alat transportasi ini dengan perahu klotok meski sekarang telah menggunakan mesin kecil yang bersuara lebih halus.

2Mantir adat :  Kepala adat

3Pekasam :  Makanan yang diawetkan/difermentasi, disini maknanya hanyalah kiasan bagi seseorang yang menyimpan rahasia

 

*Ditulis sambil menengok kembali potret buram dunia pendidikan kita dan membangkitkan harapan diterapkannya sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak generasi unggulan.  Selamat hari pendidikan nasional.  Yuk, kita nyalakan pelita, terangi cita-cita terbangunnya peradaban hebat di tangan generasi mujahid-mujahidah!

Tinggalkan komentar